Minggu, 21 September 2008

IKLAN DAN KEKERASAN IDENTITAS


Iklan dalam bahasa Inggris disebut dengan advertisement merupakan upaya sadar seseorang atau sekelompok orang (komunitas tertentu) untuk memperkenalkan sesuatu baik hanya berbentuk informasi maupun dalam bentuk produk barang agar orang lain berminat mengikuti apa yang diinginkan oleh para pelaku iklan tersebut. Dalam dunia pertelevisian misalnya, yang terkait erat dengan dunia bisnis, iklan ibarat jantung yang terus memompakan darah ke seluruh anasir tubuh televisi.

Oleh karenanya wajar kalau antara bisnis dan televisi memiliki hubungan yang saling mempengaruhi dan saling menguntungkan (Simbiosis Mutalisme). Kalau sebuah acara di televisi minim iklan, tentunya darah tidak akan mengalir secara komplementer dan komprehensif di seluruh tubuh televisi.

Maka untuk menjaga agar hubungan ini berjalan baik (balance), para pelaku, baik itu pengelola televisi maupun pelaku bisnis bersama-sama berupaya keras untuk menyakinkan masyarakat akan keunggulan program dan kualitas barang yang disajikan serta dipromosikan. Terutama bagi pelaku bisnis, mereka sangat dituntut untuk selalu kreatif dan inovatif agar selalu mempersembahkan produk yang memenuhi kebutuhan dan memuaskan pasar. Kalau tidak, perlahan tapi pasiti mereka akan ditinggalkan oleh konsumennya yang beralih kepada produk yang lebih menarik.

Sedang bagi pengelola televisi, mereka juga dituntut untuk selalu menyajikan acara-acara yang berkualitas. Kalau tidak, para pemirsa akan berpindah ke lain hati, dan para produsen pun akan menjadi enggan menarifkan sebagian besar dananya pada perusahan televisi tersebut.

Terkait dengan wacana di atas, sejenak kita melihat bagaimana sebenarnya praktek iklan yang jika dikaji lebih dalam dan jeli sesungguhnya akan menampakkan satu sisi lain yang mungkin tidak terpikirkan oleh orang banyak (unthingkingable) yaitu sebuah kekerasan. Berikut ini sebuah ilustrasi kaitannya dengan produk yang ditawarkan kepada konsumen (baca: penonton Televisi).

Dalam kamus iklan, tubuh para penontonnya adalah jelek, tak terawat, dan perlu “direparasi” dengan produk yang mereka tawarkan. Seperti Iklan shampoo yang mengsumsikan bahwa rambut semua penontonnya bercabang, kusut, pecah, berketombe, dan jauh untuk memenuhi standard rambut indah.

Oleh karena itu untuk mengatasi problem tersebut, maka pebisnis dengan bahasa iklannya menampilkan sebuah shampoo yang anti-ketombe, anti-dendruff, bahkan “anti-jelek”. Untuk mencapai target yang diinginkan dari penjulan tersebut, mereka melibatkan seorang bintang, “publik figur” atau seorang model yang dengan skenario apik menampilkan gambar dan aksi yang dianggap menarik yaitu asyik memutar kepalanya yang dihiasi rambut yang hitam berkilau, lurus, panjang dan tentunya tak berketombe.

Singkatnya, tanpa disadari terkadang muncul spontanitas perasaan iri yang menggebu dalam hati penonton pada sang model yang sangat cantik laksana bidadari itu. Dengan berbekal semangat dan hasrat besar untuk memiliki rambut yang indah seperti yang diiklankan, para penonton segera memburu mall, hingga warung kecil di sekitar rumah mereka guna mereparasi rambut (rebounding). Kemudian mencari produk sahampoo untuk solusi terbaik anti-ketombe, rambut lurus dan hitam seperti yang ditawarkan iklan shampoo tadi.

Begitulah, tanpa sadar mayoritas kita-untuk tidak mengatakan semuanya- diam-diam sudah menjadi “masyarakat penampil” atau (meminjam istilah Idy Subandy Ibrahim) dandy society. Sebuah iklan shampoo saja, seakan memiliki kekuatam magis yang telah berhasil menyihir dan mendikte kita untuk berambut lurus, hitam, panjang dan tak berketombe sambil meyakinkan bahwa rambut kita itu jelek, tak terawat dan perlu diperbaiki seperti bintang iklan.

Adalah Rika seorang perempuan yang bekerja di sebuah Perusahaan Swasta. Sebenarnya rambutnya cukup indah. Tapi, ternyata iklan lebih berhasil meyakinkan dirinya bahwa rambutnya tak terawat, bercabang dan berketombe. Jadilah dia memilih shampoo anti-ketombe untuk menyelamatkan citranya agar tak dituding “tak terawat” dan jelek.

Selang beberapa lama, setelah memakai shampoo ati-ketombe itu, ternyata rambutnya menjadi kering. Maka kemudian ia beralih pada shampoo produk lain yang menjanjikan rambut segar dan berkilau. Tapi ternyata, shampoo barunya malah membuat rambutnya jadi kusam. Maka dia berganti shampoo lain yang menjanjikan rambut hitam, panjang dan lurus.

Begitu seringnya ia gonta-ganti shampoo, ini mengindikasikan bahwa iklan-iklan di televisi itu telah berhasil dan sukses melumpuhkan secara telak kepercayaan dirinya sebagai perempuan. Rambut yang sejatinya indah dan hitam akhirnya menjadi sangat jauh untuk dikatakan indah dan sedia kalanya. Hingga akhirnya, untuk mengembalikan keindahan rambut yang pernah ada, bahkan digunakanlah shampoo lain yang dianggap nomor satu dari Amerika, walhasil justru membuat kondisi rambutnya menjadi tipis.

Rika, yang pada awalnya ingin menggunakan shampoo yang bisa membuat rambutnya lebih mengembang, hitam dan panjang. Namun rasa lelah berganti shampoo ternyata lebih dulu menghinggapinya. Sehingga suatu hari dalam sebuah pertemuan, Rika malah telah menggunakan jilbab.

Penggunaan jilbab ini tidak murni karena untuk menjalankan kewajiban agama, tetapi hanya untuk sebuah alasan yang agak aneh, yaitu bosan mengurusi rambut dan berganti-ganti shampoo. Jika dilihat dari satu sisi, memang ada baiknya juga karena gonti-ganti shampoo malah membuat rambutnya rusak, sehingga menjadikannya untuk menggunakan jilbab. Tapi, yang ingin ditegaskan di sini adalah, bahwa telah terjadi kekerasan identitas di sekeliling kita.

Ternyata, diam-diam, dunia yang diwakili iklan seakan-akan menunjuk hidung kita dan mengatakan, “kamu jelek, tak terawat. Coba lihatlah wajah lain, lalu bandingkan, yang terawat dan yang tak terawat”. Telah menumbangkan rasa percaya diri kita, lalu patuh terhadap pesan-pesan yang ditawarkan iklan tanpa berfikir lebih lanjut.

Kekerasan gaya hidup

Sebagian kita (masyarakat) mungkin berasumsi dan berpersepsi bahwa kekerasan adalah segala sesuatu yang melulu berkaitan erat dengan tendangan, pukulan, tembakan, daging yang terkoyak, kucuran darah, penyiksaan dan penderitaan. Mereka mengira bahwa hanya tembakan, tetesan darah dan perkelahian hingga pembunuhan dan perampokan yang merupakan sebuah kekerasan. Tanpa pernah mencoba untuk mendeteksi bentuk kekerasan lain yang lebih halus tapi sesungguhnya lebih membahayakan.
Kekerasan dalam perspektif Johan Galtung, tak melulu segala tindakan yang mengandung intervensi atau tekanan yang selalu bertalian erat dengan darah, perang, atau senjata.

Menurutnya, kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya. Dengan kata lain bila yang potensial lebih tinggi dari yang aktual, maka terdapat kekerasan. Kekerasan di sini diartikan sebagai penyebab perbedaan antara yang potensial dan yang aktual. Realisasi potensial adalah apa yang mungkin diwujudkan sesuai dengan tingkat wawasan, pengetahuan, dan kemampuan yang dicapai oleh seseorang. Penyalahgunaan hal-hal tersebut untuk tujuan lain atau dipaksakan oleh sekelompok orang lain berarti telah menciptakan kekerasan.

Ketika realisasi potensial kita memiliki kebebasan untuk memilih berambut lurus atau keriting, panjang atau pendek, dan seterusnya. Tapi iklan telah memaksa realisasi aktual kita untuk “sama” seperti apa yang ada dalam iklan. Di situlah kekerasan yang dimaksudkan telah terjadi. Saat ini, disadari atau tidak, kita tengah menerima banyak bentuk dalam kekerasan gaya hidup (life style violence)dan kekerasan identitas (identity violence). Identitas kita kemudian dideskriditkan sebagai sesuatu yang jelek, kotor, dan tak terawat oleh iklan-iklan di televisi melalui sejumlah model dan selebriti yang melabeli dirinya cantik,tampan, sempurna dalam ukuran tubuh.

Dalam kasus iklan shampoo tadi misalnya, ketika realisasi potensial setiap orang ditekan untuk merasa bahwa rambutnya jelek dan tak terawat, kekerasan identitas telah terjadi. Cantik atau tidak cantik, terawat atau tidak terawat, jelek dan bagus telah direduksi sedemikian naif bahwa rambut yang hitam, lurus mengembang dan tidak berketombe, wanita yang cantik dan terawat adalah yang memakai produk shampoo atau produk yang diiklankan sementara yang lain tidak.

Memang secara formal, pada dasarnya tidak pernah ada standarisasi kategori untuk cantik atau tampan secara lokal, regional, nasional, atau internasional. Bahkan Kecamatan, DPR, atau PBB sekalipun tidak pernah mengeluarkan peraturan atau undang-undang bahwa seseorang yang cantik adalah yang tubuhnya langsing, berkulit putih, berwajah Oriental-Eropa, berambut hitam dan seterusnya.

Yang ada hanyalah penggiringan paradigma berfikir dan penciptaan persepsi dalam masyarakat bahwa cantik adalah orang yang berkulit putih, langsing, dan berambut indah bak Titi Kamal, Dian Sastro atau Sandra Dewi dan yang tampan adalah lelaki gagah, berotot, dan macho seperti Ari Wibowo, Primus dan Thomas Djorgie (katanya).

Perlu diingat bahwa kekerasan telah terjadi ketika semua orang merasa merekalah (para selebriti dan bintang dalam iklan dan televisi) yang cantik atau tampan, sementara kita adalah orang-orang yang berada pada kategori dan klasifikasi yang biasa saja—bahkan jelek—yang harus bersegera dan responsif untuk memperbaiki citra diri agar punya identitas seperti mereka.

Maka para perempuan seakan tidak mau ketinggalan dan tidak ingin dikatakan tidak beridentitas berlomba-lomba untuk melangsingkan tubuh lewat diet ketat yang sering kelewatan menyebabkan anorexia nervousa atau bulimia. Selanjutnya memburu shampoo agar rambutnya dikatakan indah dan terawat setelah menggunakannya.

Tak terkecuali mencari produk kecantikan lainnya seperti hand body dan pemutih lainnya. Kesemua itu dilakukan karena tanpa disadari bahwa rasa percaya diri telah hilang dan digiring kepada produk iklan tersebut. Para lelaki juga tak mau ketinggalan mengurusi tubuh mereka dengan fitness dan body building hingga rajin ke salon secara rutin untuk facial dan sebagainya.

Begitulah, tanpa sadar hari-hari kita dipenuhi dengan kekerasan yang tak nampak yang seringkali tidak kita sadari. Kekerasan gaya hidup dan kekerasan identitas memaksa kita berpenampilan dan berwajah mirip selebriti atau para supermodel, tanpa pernah menyadari bahwa tubuh adalah karunia kodrati yang diciptakan Allah Swt dengan bentuk yang berbeda-beda dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Tanpa sadar kita telah menjadi korban kekerasan, sebab ketika tiba-tiba tanpa kesadaran yang jelas kita rela mengeluarkan berapapun uang dari dompet kita untuk membeli krim pemutih wajah, obat pelangsing tubuh, facial foam atau body lotion karena takut dunia akan menunjuk hidung kita yang berkomedo dan berjerawat sambil berkata, “jelek lu!”, itulah kekerasan.

5 komentar:

Stairway to Heaven mengatakan...

keras artinya sesuatu yang kokoh,solid, dan sulit untuk dipecahkah. kalau kekerasan, itu berarti sesuatu yang dipaksakan kepada orang dan menimbulkan efek "menyakitkan." apa yang sakit, tentu tidak melulu fisik. keterkekangan fikir akibat dominasi mayoritas juga bisa dinamakan kekerasan. maka dari itu, demokrasi kadang di sisi lain melahirkan penindasan kepada kelompok lemah. terkait dengan iklan..., seperti yang dipaparkan sudah bagus sekali. satu lagi, mimik muka juga, jika diinterpretasikan secara keliru akan melahirkan kekerasan. makanya, pasanglah wajah yang ceria, jangan cemberut terus.bisa...bisa...

Anonim mengatakan...

Kekerasan bahkan terhidang di meja makan. Coba aja tengok http://opiniorangbiasa.blogspot.com

Selamat makan siang!

Kuliner Sulawesi Tengah mengatakan...

Woy, jek, knapo gak ditambah tulisanyo? Han, cewek Palembang caem-caem oy! asli... di tempat aku nginep ada 2 mahasiswi yang disuruh jaga, oleh kondisi, jadilah aku goda2in...hehehehe...

Stairway to Heaven mengatakan...

"SELAMAT MENEMPUH HIDUP BARU"
Perlakukanlah isteri anda sebagaimana anda ingin diperlakukan olehnya. fahmi

Kuliner Sulawesi Tengah mengatakan...

Aku membayangkan, jadi pengantin baru itu pasti maknyus tenan. maka dari itulah, mas Farhan belum sempat2 menambah pundi-pundi tulisannya di blog ini:-)